Nov 4, 2025 / admin / Categories: Used before category names. Uncategorized

Terancam Digulingkan AS, Akankah Rusia Kembali Menolong Presiden Venezuela Maduro?

Caracas — Suhu politik di Amerika Latin kembali naik. Nama Nicolás Maduro, yang sudah lama menjadi figur kontroversial, kembali memenuhi tajuk berita. Hubungannya dengan Amerika Serikat memang tak pernah berjalan mulus. Di sisi lain, Rusia selalu menjadi tempatnya bersandar — sekutu yang tak selalu dekat secara jarak, tapi akrab dalam kepentingan. Kini, ketegangan lama itu kembali terasa, seperti luka yang tak kunjung sembuh.

Bila menoleh ke tahun 2019, cerita ini bukan hal baru. Saat itu Washington mendukung Juan Guaidó, tokoh oposisi yang nekat menantang Maduro secara terbuka. Dunia menanti kejatuhan sang presiden, tapi itu tak terjadi. Moskow turun tangan, memberi perlindungan diplomatik, bahkan sedikit dukungan militer. Enam tahun sudah berlalu, dan babak baru seakan dimulai lagi — hanya saja, dunia kini jauh lebih pelik.

Di lautan Karibia, Amerika Serikat kembali memamerkan ototnya. Kapal induk USS Gerald R. Ford disebut berlayar semakin dekat ke perairan Venezuela. Washington menuduh pemerintahan Maduro terlibat dalam jaringan narkoba lintas negara, bahkan menaikkan hadiah penangkapannya hingga 50 juta dolar AS. Donald Trump, dengan nada khasnya, sempat berkata, “Hari-hari Maduro sudah terhitung.”

Tekanan itu membuat Caracas menoleh lagi ke Moskow. Menurut laporan The Washington Post, Maduro dikabarkan menulis surat pribadi kepada Vladimir Putin. Isinya permintaan bantuan untuk memperkuat sistem pertahanan udara, memperbaiki jet Sukhoi, serta tambahan dukungan logistik. Tak ada pernyataan resmi dari Kremlin, tapi munculnya pesawat angkut besar Il-76 di bandara Caracas sudah cukup memancing spekulasi.

Dari Moskow, juru bicara Kementerian Luar Negeri, Maria Zakharova, bereaksi keras. Ia menuding operasi militer Amerika di sekitar Venezuela sebagai bentuk pelanggaran terhadap kedaulatan negara lain. Tak lama kemudian, Rusia dan Venezuela menandatangani perjanjian strategis baru, mempertegas kerja sama ekonomi dan militer mereka — setidaknya di atas kertas.

Namun banyak pengamat ragu Rusia punya cukup tenaga untuk benar-benar membantu. Perang di Ukraina telah menguras sumber daya dan fokus Moskow. Analis hubungan internasional, Mark Galeotti, menilai Rusia kini “lebih mengandalkan diplomasi daripada kekuatan senjata.” Pendapat senada disampaikan Oleg Ignatov dari Crisis Group, yang menilai jarak dan logistik membuat intervensi langsung hampir mustahil.

Meski begitu, bagi Kremlin, Venezuela bukan sekadar sekutu di Amerika Selatan. Negeri itu adalah simbol pengaruh Rusia di belahan bumi barat, tempat mereka menanam investasi besar di sektor minyak — salah satu yang terbesar di dunia. Kehilangannya akan jadi tamparan telak bagi Moskow.

Beberapa analis justru berpendapat sebaliknya. Jika Washington benar-benar berhasil menggulingkan Maduro, Rusia mungkin akan memanfaatkannya sebagai bahan propaganda. “Barat akan tampak seperti kekuatan lama yang masih ingin mengatur dunia,” ujar Galeotti. Narasi seperti itu mudah diterima di negara-negara berkembang yang sudah lama muak dengan dominasi Barat.

Kini, nasib Maduro seperti berada di tengah pusaran dua kekuatan besar. Jika tekanan Amerika kian keras dan Rusia gagal memberikan dukungan nyata, kekuasaannya bisa goyah. Namun di mata sebagian rakyat Venezuela, selama ia masih berdiri di panggung politik, masih ada secercah keyakinan bahwa negeri mereka belum sepenuhnya menyerah pada arus geopolitik global.

Leave a reply