Nov 5, 2025 / admin / Categories: Used before category names. Keamanan Global

WARGA PALESTINA KELAPARAN DI GAZA

Berita terkini tentang Palestina – kisah nyata penderitaan warga Palestina yang masih bertahan hidup di tengah reruntuhan dan kelaparan Gaza.

Laporan Langsung dari Gaza – Catatan Seorang Reporter

Langit Gaza pagi itu tampak kusam, seolah ikut berduka. Asap mengepul dari bangunan yang tinggal puing. Di antara reruntuhan, seorang bocah kecil duduk memeluk ibunya yang tampak lemah. Bau debu bercampur asap memenuhi udara, menyesakkan dada siapa pun yang menghirupnya.

Saya berdiri di sana, mencoba merekam setiap detik dengan mata kepala sendiri. Begitulah kenyataan hidup warga Palestina hari ini: mereka tak lagi bicara tentang kenyamanan atau keamanan, yang mereka pikirkan hanya bagaimana bisa bertahan sampai esok tiba.

Di salah satu jalan yang porak-poranda, beberapa relawan tampak membagikan roti kering. Anak-anak mengantre dengan wajah pucat, sebagian tanpa alas kaki. Seorang ibu mendekat dan berkata lirih, “Kami tidak tahu kapan makanan berikutnya datang.”
Kalimat itu menancap begitu dalam. Saya tidak tahu harus menjawab apa, selain menunduk dan menahan napas.

Persediaan Makanan Menipis, Harapan pun Mulai Luntur

Sejak jalur bantuan tertutup karena konflik berkepanjangan, warga Palestina di Gaza hidup dalam kondisi yang sulit dibayangkan. Listrik nyaris tak pernah menyala, air bersih harus dijatah, dan bahan makanan semakin langka. Mereka yang dulu hidup sederhana kini berjuang untuk sekeping roti dan setetes air.

Di tenda-tenda darurat yang berdiri di atas tanah berdebu, satu panci sup encer bisa dibagi untuk seluruh keluarga. Banyak orang tua memilih menahan lapar agar anak mereka bisa makan sedikit nasi. “Kami sudah terbiasa lapar,” ujar seorang pria setengah baya dengan senyum tipis.
Senyum itu bukan bahagia — hanya cara sederhana menutupi luka yang sudah terlalu dalam.

Anak-Anak Palestina: Tumbuh di Tengah Perang, Tidur dalam Ketakutan

Tak ada taman bermain, tak ada sekolah, tak ada rasa aman. Yang tersisa hanyalah dentuman dan tangis di malam hari. Anak-anak warga Palestina kini tumbuh di bawah bayang-bayang perang. Mereka menggambar pesawat dan tank, bukan lagi pelangi dan rumah.

Seorang bocah laki-laki di kamp pengungsian berkata, ia ingin menjadi dokter agar bisa menolong ibunya yang sakit. Tapi ketika kutanya apakah ia masih sekolah, ia menggeleng pelan. “Sekolah kami hancur,” katanya singkat.
Jawaban itu terasa lebih menyayat daripada ledakan apa pun. Perang telah merenggut bukan hanya rumah, tapi juga masa depan mereka.

Seruan Dunia yang Masih Terhambat

Banyak negara menyerukan gencatan senjata, namun bantuan kemanusiaan tetap tersendat. Truk-truk bantuan berhenti di perbatasan, tak bisa menembus wilayah konflik. Sementara warga Palestina di Gaza hanya bisa menunggu, menahan lapar dan haus.

Di tengah semua itu, warga Palestina tetap bertahan dengan cara mereka sendiri. Di sela reruntuhan, saya melihat beberapa anak menendang bola yang terbuat dari kain perca. Tawa kecil mereka seakan menembus udara kelabu, membawa sejumput harapan.

Beberapa lembaga mencoba menyalurkan bantuan lewat laut, tapi risiko besar membuat misi itu jarang berhasil.
Di media sosial, tagar #PrayForPalestine terus menggema. Namun di lapangan, doa saja tak cukup. Yang mereka butuhkan adalah tindakan nyata — logistik, obat, dan jaminan keselamatan.

Harapan yang Belum Mati

Seorang nenek yang kehilangan rumahnya masih sempat berkata dengan suara bergetar, “Selama kami masih bisa berdoa, kami belum kalah.”
Kalimat itu sederhana, tapi mengandung kekuatan yang luar biasa. Di balik kehancuran, mereka masih menyimpan keyakinan — bahwa hidup akan tetap berjalan, meski tertatih.

Inti nya Gaza Butuh Dunia, Dunia Harus Melihat

Sebagai seorang jurnalis yang menyaksikan semuanya dari dekat, saya hanya bisa berharap dunia tak menutup mata. Warga Palestina bukan sekadar angka dalam laporan berita; mereka manusia seperti kita. Mereka punya keluarga, impian, dan ketakutan yang sama.

Mereka berhak hidup damai. : Berhak makan tanpa takut. Berhak tertawa tanpa dihantui suara bom.

Senja mulai turun saat saya meninggalkan kamp. Di kejauhan, adzan terdengar lirih menembus udara yang berat. Di tanah yang luluh lantak ini, harapan masih bertahan — sekecil nyala lilin di tengah malam yang panjang.

Leave a reply